Hadits

Berhati-Hati Dalam Menyampaikan Hadits

nasehat

Hadits ancaman berdusta atas nama Rasulullah merupakan hadits yang mutawatir yang diriwayatkan oleh puluhan sahabat, bila dicari di kutubus-sab’ah (Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Majah, at-Tirmidzi & Abu Dawud) – belum di kitab-kitab hadits lain – ditemukan puluhan hadits dengan lafadz مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ.

Beberapa lafadz hadits ancaman berdusta atas nama Nabi diantaranya :

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ 

“Barangsiapa berdusta terhadapku, maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya dalam neraka.”

(HR. Bukhari no. 1291, Muslim no. 3, Abu Dawud 3651, Ibnu Majah no. 30, 33, 36, 37, at-Tirmidzi 2659, 3715, Ahmad no. 584, 1075, 1413, 2675, 2974, dst) 

مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Barangsiapa berkata tentangku yang tidak pernah aku katakan, maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di neraka.” 

(HR. Bukhari no. 109, dari Salamah al-Akwa radhiyallahu ‘anhu, lihat juga di Ahmad no. 469, 6478, 8266) 

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat, dan ceritakanlah tentang Bani Israil dan tidak ada keberatan (yakni berdosa), dan barangsiapa yang berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka.”

(HR. Bukhari no. 3461, Ahmad no. 6486, 6888, 7006, at-Tirmidzi no. 2669 ; dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma)

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ 

“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama orang lain. Karena barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.” 

(HR. Bukhari no. 1291, Muslim no. 4, Ahmad no. 18140, 18202, dari Mughiran bin Syu’bah radhiyallahu anhu)

سَيَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي أُنَاسٌ يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ، وَلَا آبَاؤُكُمْ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ

“Akan ada orang-orang pada akhir umatku menceritakan sebuah hadits kepada kalian yang mana kalian belum pernah mendengarnya dan tidak pula bapak kalian. Maka kalian jauhilah dan mereka jauhilah.”

(HR. Muslim no. 6 – Muqaddimah Shahih Muslim ; dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

إِيَّاكُمْ وَكَثْرَةَ الْحَدِيثِ عَنِّي، مَنْ قَالَ عَلَيَّ فَلَا يَقُولَنَّ إِلَّا حَقًّا، أَوْ صِدْقًا، فَمَنْ قَالَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Hendaklah kalian berhati-hati memperbanyak meriwayatkan dariku. Siapa yang berkata atas namaku, janganlah sekali-kali berkata kecuali yang haq atau jujur. Siapa yang berkata atas namaku dengan apa yang tidak pernah aku katakan, hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.”

(Hasan, HR. Ibnu Majah no. 35, Ahmad no. 22538 ; dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu)

–oOo–

Imam Ibnu Hibban rahimahullah telah membuat pasal khusus  :

فَصْلٌ ذِكْرُ إِيجَابِ دُخُولِ النَّارِ لِمَنْ نَسَبَ الشَّيْءَ إِلَى الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ غَيْرُ عَالِمٍ بِصِحَّتِهِ

“Pasal: Mengenai dipastikannya masuk neraka, orang yang menisbatkan sesuatu kepada al-Mushthafa [Rasulullah] shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal ia tidak mengetahui keshahihannya.”

(Shahih Ibnu Hibban 1/hal. 210)

Kemudian beliau membawakan hadits  Rasulullah :

مَنْ قَالَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النار

“Barangsiapa yang berkata atas (nama) ku (dengan) sesuatu yang tidak pernah aku ucapkan maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di neraka.”

(hadits no. 28, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh syaikh Albani)

مَنْ حَدَّثَ حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كذب فهو أحد الكاذبين

Barangsiapa yang menyampaikan sebuah hadits (dariku) dan dia mengetahui bahwa hadits tersebut adalah dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta.

(hadits no. 29, dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh syaikh Albani dan syaikh Syu’aib al-Arnauth) 

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يحدث بكل ما سمع

“Cukuplah seseorang dianggap berdosa tatkala membicarakan semua yang ia dengar.

(hadits no. 30, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Shahih, diriwayatkan juga Abu Dawud no. 4992, Imam muslim meriwayatkan dengan hadits semakna كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ Cukuplah seseorang (dinilai) berdusta jika dia menceritakan semua yang didengarnya – Shahih Muslim 1/10)  

–oOo–

Teladan dari para shahabat radhiyallahu ‘anhum

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ جَامِعِ بْنِ شَدَّادٍ عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ لِلزُّبَيْرِ إِنِّي لَا أَسْمَعُكَ تُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا يُحَدِّثُ فُلَانٌ وَفُلَانٌ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أُفَارِقْهُ وَلَكِنْ سَمِعْتُهُ يَقُولُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Jami’ bin Syaddad dari ‘Amir bin ‘Abdullah bin Az Zubair dari Bapaknya berkata, “Aku berkata kepada Az-Zubair (bin Awwam), “Aku belum pernah mendengar kamu membicarakan sesuatu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana orang-orang lain membicarakannya?” Az-Zubair menjawab, “Aku tidak pernah berpisah dengan beliau, aku mendengar beliau mengatakan: “Barangsiapa berdusta terhadapku maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di neraka.”

(Shahih Bukhari No. 104)

عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ قَالَ مَا أَخْطَأَنِي ابْنُ مَسْعُودٍ عَشِيَّةَ خَمِيسٍ إِلَّا أَتَيْتُهُ فِيهِ قَالَ فَمَا سَمِعْتُهُ يَقُولُ بِشَيْءٍ قَطُّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا كَانَ ذَاتَ عَشِيَّةٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَكَسَ قَالَ فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَهُوَ قَائِمٌ مُحَلَّلَةً أَزْرَارُ قَمِيصِهِ قَدْ اغْرَوْرَقَتْ عَيْنَاهُ وَانْتَفَخَتْ أَوْدَاجُهُ قَالَ أَوْ دُونَ ذَلِكَ أَوْ فَوْقَ ذَلِكَ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ أَوْ شَبِيهًا بِذَلِكَ

Dari Amr bin Maimun, dia berkata, “Aku tidak pernah melewatkan pengajian yang diadakan Ibnu Mas’ud pada Kamis sore kecuali aku selalu mendatanginya.” Dia berkata, “Aku sama sekali tidak pernah mendengar Ibnu Mas’ud mengatakan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda’.” Kemudian pada suatu sore Ibnu Mas’ud berkata dengan kepala tertunduk, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda.” Amr menceritakan, “Aku melihatnya berdiri sedang kancing bajunya terbuka. Bercucuran air mata dari kedua kelopak matanya, dan dari lehernya keringat mengalir deras.” Amr melanjutkan, “Mungkin kurang dari itu atau lebih dari itu, mendekati itu atau seperti itu keadaannya.”

(Shahih : HR. Ibnu Majah no. 23)

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ قُلْنَا لِزَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ حَدِّثْنَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَبِرْنَا وَنَسِينَا وَالْحَدِيثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَدِيدٌ

Dari Abdurrahman bin Abu Laila, dia berkata, “Kami berkata kepada Zaid bin Arqam, ‘Riwayatkanlah kepada kami hadits dari Rasulullah!’ Dia berkata, ‘Kami telah semakin tua dan telah menjadi pelupa, dan menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah berat’.”

(Shahih : HR. Ibnu Majah no. 25, Ahmad no. 19305, 19324)

–oOo–

Perkataan para ulama rahimahumullah

Berkata Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah :

مَنْ حَدَّثَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا لَظَّنَّ مُحَدِّثًا عَنْهُ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَالْمُحَدِّثُ عَنْهُ بِغَيْرِ الْحَقِّ مُحَدِّثٌ عَنْهُ بِالْبَاطِلِ وَالْمُحَدِّثُ عَنْهُ بِالْبَاطِلِ كَاذِبٌ عَلَيْهِ كَأَحَدِ الْكَاذِبِينَ عَلَيْهِ الدَّاخِلِينَ فِي قَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dasar zhan (sangkaan), berarti ia telah menceritakan (hadits) dari beliau dengan tanpa haq, dan orang yang menceritakan (hadits) dari beliau dengan cara yang batil, niscaya ia menjadi salah seorang pendusta yang masuk kedalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas (nama)ku, hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka”

(Syarah Musykil al-Atsar no. 426, I/373)

Berkata Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah :

مَا ذكره من الْأَحَادِيث فِي خطبه من غير أَن يبين رواتها أَو من ذكرهَا فَجَائِز بِشَرْط أَن يكون من أهل الْمعرفَة فِي الحَدِيث، أَو ينقلها من كتاب مؤلفة كَذَلِك، وَأما الِاعْتِمَاد فِي رِوَايَة الْأَحَادِيث على مُجَرّد رؤيتها فِي كتاب لَيْسَ مُؤَلفه من أهل الحَدِيث، أَو فِي خطب لَيْسَ مؤلفها كَذَلِك فَلَا يحل ذَلِك، وَمن فعله عُزِّر عَلَيْهِ التعزيز الشَّديد، وَهَذَا حَال أَكثر الخطباء فَإِنَّهُم بِمُجَرَّد رُؤْيَتهمْ خطْبَة فِيهَا أَحَادِيث حفظوها وخطبوا بهَا من غير أَن يعرفوا أَن لتِلْك الْأَحَادِيث أصلا أم لَا، فَيجب على حكام كل بلد أَن يزجروا خطباءها عَن ذَلِك

“Menyebutkan hadits-hadits dalam khutbah tanpa menyebutkan para perawinya dibolehkan dengan syarat bahwa ia sebagai ahli hadits, atau ia menukilnya dari buku yang penulisnya adalah ahli hadits. Adapun berpegang pada suatu hadits yang ia dapatkan dari sebuah buku yang penulisnya tidak tergolong ahli hadits, atau di buku-buku khutbah yang penulisnya juga demikian, maka hal itu tidak diperbolehkan. Barang siapa yang melakukannya, ia berhak diberi hukuman yang keras. Ternyata, demikianlah keadaan para khatib. Mereka hanya melihat buku-buku khutbah yang di dalamnya terdapat hadits, mereka pun menghafalkannya, lalu ia sampaikan dalam khutbahnya, tanpa memperdulikan apakah hadits-hadits tersebut ada dasarnya atau tidak? Maka wajib atas para penguasa setiap negara untuk memepringatkan para khatib yang melakukan hal demikian.”

(Al-Fatawa al-Haditsiyah hal. 32, lihat juga Koreksi Total Praktek Khutbah dan Ceramah hal. 32 karya Su’ud bin Malluh bin Sulthan al-‘Anazi.)

Berkata al-Anshari rahimahullah :

مَنْ أرادَ الاحتجاجَ بحديثٍ من السُّنَنِ، أَوْ من المسانيد أنَّه إنْ كَانَ متأهّلاً لمعرفةِ ما يحتجُّ بِهِ مِنْ غيرِهِ، فلا يَحتجُّ بِهِ، حَتَّى ينظرَ في اتِّصالِ إسنادِهِ، وحالِ رُواتِهِ، وإلاّ فإن وَجَدَ أحداً من الأئِمَّةِ صحَّحَهُ، أَوْ حَسَّنَهُ فَلَهُ تقليدُهُ، وإلاَّ فلا يُحتجُّ بِهِ

“Seorang yang ingin berdalil dengan suatu hadits yang terdapat dalam kitab Sunan dan Musnad, (maka dia berada dalam dua kondisi). Jika dia seorang yang mampu untuk mengetahui (kandungan) hadits yang akan dijadikan dalil, maka dia tidak boleh berdalil dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad hadits tersebut (hingga nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan kapabilitas para perawinya. Jika dia tidak mampu, maka dia boleh berdalil dengannya apabila menemui salah seorang imam yang menilai hadits tersebut berderajat shahih atau hasan. Jika tidak menemui seorang imam yang menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak boleh berdalil dengan hadits tersebut.”

(Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahli al-Hadits hal 15, juga di Fath al-Baqi fi Syarh Alfiyah al-’Iraqi hal. 162.)

Berkata Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah :

من أراد أن يحتج بحديث من السنن أو بأحاديث  من المسانيد واحد؛ إذ جميع ذلك لم يشترط من جمعه الصحة ولا الحسن خاصة، فهذا المحتج إن كان متأهلا لمعرفة الصحيح من غيره، فليس له أن يحتج بحديث من السنن من غير أن ينظر في اتصال إسناده وحال رواته كما أنه ليس له أن يحتج بحديث من المسانيد حتى يحيط علما بذلك.

وإن كان غير متأهل لدرك ذلك فسبيله أن ينظر في الحديث إن كان خرج في الصحيحين أو صرح أحد من الأئمة بصحته، فله أن يقلد في ذلك.

وإن لم يجد أحدا صححه ولا حسنه فما له أن يقدم على الاحتجاج به فيكون كحاطب ليل فلعله يحتج بالباطل وهو لا يشعر.

“Cara yang harus ditempuh bagi orang yang ingin berhujjah dengan hadits yang tertera dalam kitab-kitab Sunan dan kitab-kitab Musnad itu satu, karena semua kitab itu tidak mensyaratkan shahih dan hasan dalam penghimpunannya. Jadi, bila orang yang hendak berhujjah ini mampu untuk mengetahui hadits shahih dari lainnya, maka ia tidak boleh berhujjah dengan hadits dari kitab-kitab Sunan itu sebelum ia memperhatikan ketersambungan sanadnya dan keadaan para perawinya. Selain itu, ia juga tidak boleh berhujjah dengan hadits dari kitab-kitab Musnad sampai ia benar-benar menguasai disiplin ilmu ini.

Dan bila orang yang hendak berhujjah tidak mampu melakukan hal itu maka jalan terbaik baginya adalah memperhatikan hadits tersebut. Bila hadits tersebut disebutkan dalam shahihain atau ada di antara ulama hadits yang secara jelas menyatakan keshahihannya maka ia boleh mengikutinya dalam masalah tersebut.

Bila ia tidak menjumpai seorang ulama menilai hadits itu shahih atau hasan maka ia tidak boleh berhujjah dengannya. Orang semacam ini ibarat orang yang mencari kayu bakar di malam yang gelap gulita. Boleh jadi ia berhujjah dengan suatu riwayat yang bathil, tapi ia tidak merasa.”

(An-Nukat ‘ala Kitab Ibn Shalah, 1/449)

Berkata imam al-Munawi asy-Syafi’i rahimahullah :

فليس لراوي حديث أن يقول قال الرسول إلا إن علم صحته ويقول في الضعيف روى أو بلغنا فإن روى ما علم أو ظن وضعه ولم يبين حاله أيدرج في جملة الكذابين لإعانته المفتري على نشر فريته فيشاركه في الإثم كمن أعان ظالما ولهذا كان بعض التابعين يهاب الرفع ويوقف قائلا الكذب على الصحابي أهون

Maka tidak boleh bagi seseorang yang meriwayatkan hadits untuk berkata : “Rasulullah bersabda” kecuali jika ia mengetahui shahihnya hadits tersebut, dan ia berkata pada hadits dhoif : “Telah diriwayatkan..” atau “Telah sampai kepada kami…”. Jika ia meriwayatkan hadits yang ia tahu atau ia persangkakan merupakan hadits palsu lantas ia tidak menjelaskan keadaannya maka ia termasuk dalam barisan pendusta, karena ia telah membantu sang pemalsu hadits dalam menyebarkan kedustaannya, maka iapun ikut menanggung dosa, seperti seseorang yang menolong orang yang dzolim. Oleh karenanya sebagian tabi’in takut untuk menyandarkan hadits kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia menyandarkan hadits kepada sahabat dan berkata, “Dusta atas nama shahabat lebih ringan”

(Faidhul Qadhir juz 6 hal. 116)

Al-Qodhi Abul Mahasin Yusuf bin Musa Al-Hanafi rahimahullah berkata :

قال الله تعالى: {أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ لا يَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ} والقول عن الرسل قول على الله والحق هنا كهو في قوله تعالى: {إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ} فكل من شهد بظن شهد بغير حق إذا لظن لا يغني من الحق شيئا فكذا من حدث عن النبي صلى الله عليه وسلم بالظن حدث عنه بغير حق فكان باطلا والباطل كذب فهو أحد الكاذبين عليه الداخلين في قوله: “من كذب علي فليتبوأ مقعده من النار” ونعوذ بالله من ذلك

“Allah berfirman “Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali dengan al-haq/yang benar”, dan perkataan dari Rasulullah adalah perkataan atas nama Allah. Al-Haq pada ayat ini seperti al-Haq dalam firman Allah “Kecuali orang yang menyaksikan dengan al-Haq/kebenaran .”

Maka setiap orang yang mempersaksikan dengan zhon (prasangka) maka ia telah mempersaksikan dengan selain al-Haq, karena zhon tidaklah memberikan kebenaran sama sekali. Maka demikian pula orang yang menyampaikan sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan zhon/persangkaan maka ia telah menyampaikan dari Nabi dengan selain al-Haq, maka hal ini merupakan kebatilan, dan kebatilan adalah dusta. Maka jadilah ia salah seorang dari para pendusta atas nama Nabi, dan termasuk orang-orang yang masuk dalam sabda Nabi : “Barangsiapa yang berdusta atasku maka bersiaplah mengambil tempatnya di neraka”, dan kita berlindung dari hal ini”

(Al-Mu’tashor min al-Mukhtashor min Musykil al-Aatsaar 2/262)

Berkata syaikh al-Albani rahimahullah :

وأعلم أن التعرف على الحديث الضعيف أمر واجب، وحتم لازم على كل مسلم يتعرض لتحديث الناس وتعليمهم ووعظهم، وقد أخل به – مع الأسف – جماهير المؤلفين والوعاظ والخطباء، وبخاصة منهم الأدباء فى الإذاعات والمحاضرات، فإنهم كثيراً ما يُغربون، ويروون من الأحاديث عنه ما لا أصل له، غير مبالين بنهيه صلي الله عليه وسلم عن التحديث عنه إلا بما صحّ، كقوله صلى الله عليه وسلم:

“إياكم وكثرة الحديث عنى، من قال علىّ فلا يقولنّ إلا حقاً أو صدقاّ، فمن قال علىّ ما لم أقل فليتبوّأ مقعده من النار” فمعرفة الحديث الضعيف ضروريّ بالنسبة لمن ذكرنا، وهى من فقه حديث حذيفة رضى الله عنه، المروي فى “الصحيحين” قال:

“كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير، وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركنى فَأَقَع فيه..” الحديث. ومنه قول الشاعر:

عَرَفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ ،

 وَمَنْ لاَيَعْرِفِ الشَّرَّ مِنَ الْخَيْرِ يَقَعُ فِيْهِ

“Dan ketahuilan bahwa mengenal hadits dha’if adalah kewajiban dan juga menjadi suatu keniscayaan bagi setiap muslim yang kerap menyampaikan pengajian dan nasihat kepada orang lain. Sering kali para pengarang, mubaligh dan khatib meremehkan hal ini, khususnya para ahli sastra di forum-forum seminar dan kajian-kajian lain misalnya. Kebanyakan mereka meremehkan hal ini. Mereka menggunakan hadits-hadits yang tidak memiliki asal-usul, tanpa mengindahkan larangan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam meriwayatkan hadits dari beliau kecuali yang shahih. Sebagaimana perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam :

“Hendaklah kalian berhati-hati memperbanyak meriwayatkan dariku. Siapa yang berkata atas namaku, janganlah sekali-kali berkata kecuali yang haq atau jujur. Siapa yang berkata atas namaku dengan apa yang tidak pernah aku katakan, hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.”

Maka mengenal hadits dha’if adalah hal penting, dan hal itu juga termasuk dalam penjelasan hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan dalam Shahihain, “Kebanyakan manusia bertanya tentang kebaikan dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, sedang aku bertanya tentang keburukan, sebab khawatir akan melakukannya…” (al-hadits).

Begitu juga perkataan penyair,

Aku mengenal keburukan bukan keburukan, namun untuk menjauhinya..
Siapa yang tidak mengenal keburukan, ia akan terjerumus kedalamnya..

(Dha’if Adabul Mufrad li Imam al-Bukhari hal. 6-7)

–oOo–

Penulis : Agung Supriyanto
Maraji’ penukilan lafadz arabiyah : Maktabah Syamilah ver 3.48
Artikel elmuntaqa.wordpress.com

Leave a comment