Adab dan Akhlak · Belajar Islam · Fiqih

Sekelumit Penjelasan Seputar Hukum Banjir

kesyirikan pertama kali

Bencana demi bencana menimpa negeri ini secara bertubi-tubi; tanah longsor, tsunami, kebakaran, gunung meletus, dan yang sedang marak sekarang ini adalah bencana banjir yang akhir-akhir ini menyerang banyak kota dan desa, termasuk kota Jakarta ibu kota Indonesia. Tentu saja, sebagai seorang muslim kita harus yakin bahwa di balik bencana tersebut terkandung hikmah bagi kita semuanya, di antaranya agar kita semua berintrospeksi dan berbenah diri, bertaubat dan bersimpuh di hadapan Allah.

Sungguh, termasuk kesalahan yang amat fatal jika kita hanya meyakini seperti kebanyakan orang bahwa bencana banjir dan sejenisnya adalah sekadar bencana alam murni tanpa ada sebab dan hikmah di dalamnya. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Sesungguhnya kebanyakan manusia sekarang menganggap bahwa musibah yang menimpa mereka baik dalam bidang perekonomian, keamanan, atau politik disebabkan karena faktor-faktor dunia semata. Tidak ragu lagi bahwa semua ini merupakan kedangkalan pemahaman mereka dan lemahnya iman mereka serta kelalaian mereka dari merenungi al-Qur‘an dan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sesungguhnya di balik musibah ini terdapat faktor penyebab syar’i yang lebih besar dari faktor-faktor duniawi. Allah berfirman:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿٤١﴾

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS ar-Rum [30]: 41).”[1]

Semoga Allah merahmati para ulama salaf yang selalu melakukan introspeksi atas segala musibah yang menimpa mereka, lalu segera sadar dan memperbaiki diri. Ibnu Sirin Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Saya tahu dosa apa yang menyebabkan aku sekarang ini memikul hutang, karena dahulu empat puluh tahun silam saya pernah mengatakan kepada seorang: ‘Wahai muflis (orang yang bangkrut)’”[2] Sufyan bin Uyainah Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Dahulu aku diberi pemahaman tentang al-Qur‘an, namun tatkala aku menerima kantong uang maka pemahaman itu hilang dariku.”[3]

Demikianlah orang-orang yang cerdas, mereka selalu melakukan introspeksi dan mengakui kesalahan dan dosa yang menyebabkan musibah yang terjadi pada dirinya.

Peristiwa banjir memang sering terjadi dan menimbulkan berbagai permasalahan yang mendorong kita untuk mengetahui beberapa hukum yang berkaitan dengannya. Berikut beberapa permasalahan dan hukum seputar banjir[4]:

  • Wajibnya Menolong Korban Banjir

Menolong korban banjir termasuk kewajiban, bahkan para ulama menyatakan jika seorang muslim yang tengah menjalankan shalat wajib lalu mendapati korban banjir, maka boleh baginya untuk membatalkan shalatnya guna untuk menolong korban tersebut. Jika hanya dia saja yang bisa menolongnya maka hukumnya fardhu ain, namun jika yang lainnya juga bisa menolong maka hukumnya fardhu kifayah; sehingga bila tidak ada yang menolong korban maka seluruhnya kaum muslimin berdosa. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang membantu menghilangkan kesusahan seorang mukmin di dunia, maka Allah akan menghilangkan kesusahan darinya besok di hari Kiamat.” (HR Muslim: 2699)

Terlebih lagi orang kaya, pengusaha, pemerintah, dan bangsawan, hendaknya mereka mengeluarkan hartanya untuk membantu para korban. Dahulu, tatkala terjadi bencana pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz Rahimahullahu Ta’ala, beliau menulis surat kepada para gubernurnya untuk bershadaqah dan memerintah rakyat untuk bershadaqah.[5]

  • Harta Zakat Yang Terkena Banjir

Jika seorang telah memiliki harta yang telah mencapai nishab zakat lalu terbawa oleh arus banjir, maka jika belum berputar setahun (haul) atau sudah tetapi belum sempat untuk mengeluarkan zakat karena ada udzur syar’i maka tidak ada dosa baginya dan gugur kewajiban zakat darinya. Adapun apabila telah berputar setahun dan telah mampu untuk mengeluarkan tetapi dia menyepelekan dan meremehkan, maka dalam kondisi ini dia punya tanggungan untuk mengeluarkan zakat.

Dan boleh mendahulukan zakat tahun depan untuk diberikan sekarang jika memang telah mencapai ukuran nishab (walaupun belum haul) dengan prediksi karena kebutuhan manusia akibat bencana ini. Hal ini lebih afdhal daripada menunggu untuk dikeluarkan pada bulan Ramadhan.

  • Zakat Bagi Korban Banjir

Boleh memberikan zakat kepada korban banjir jika mereka menjadi fakir miskin dan berhutang. Hal ini dikuatkan oleh riwayat Muslim (1044) bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ …وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ –

“Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi salah satu dari tiga golongan, di antaranya adalah seorang yang terkena musibah yang menghilangkan hartanya, maka boleh baginya meminta-minta sehingga dia mendapati penghidupan.”

Seorang tabi’in mulia, Mujahid bin Jabr al-Makki Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Tiga golongan termasuk gharimin (orang hutang): seorang yang hartanya hanyut dibawa oleh banjir, seorang yang hartanya habis oleh kebakaran api, dan seorang yang punya keluarga tetapi tidak punya harta, maka boleh dihutangi dan dibantu untuk menafkahi keluarganya.”[6]

  • Barang Titipan dan Pinjaman yang Rusak Terkena Banjir

Bila seorang pegawai membawa barang amanat dari kantor atau pabrik lalu rusak atau hilang karena banjir maka tidak ada dosa baginya dan tidak ada kewajiban baginya untuk mengganti bila dia tidak teledor (lalai) dan tidak melampaui batas. Demikian juga pekerja di bengkel, penjahit, atau laundry (penatu), yang kemudian barang konsumennya hilang atau rusak maka tidak ada kewajiban baginya untuk mengganti. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih:

الأَمِيْنُ لَا يَضْمَنُ إِلَّا بِالتَّعَدِّيْ أَوْ التَّفْرِيْطِ

“Orang yang terpercaya tidak ada kewajiban mengganti kecuali apabila melampaui batas atau teledor (lalai).”

Demikian juga halnya dengan barang pinjaman atau titipan menurut pendapat yang kuat.

  • Harta Haram Terkena Banjir

Adapun harta haram berupa barang curian, rampokan, dan sebagainya yang rusak akibat banjir maka tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa pencuri dan perampoknya wajib mengganti karena dia melampaui batas dan tidak amanah. Ibnu Jizzi al-Maliki Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Perampas harta harus mengganti barang yang dia rampas, baik rusak karena bencana atau karena ulah makhluk.”[7]

  • Menemukan Barang-Barang Bawaan Banjir

Barang-barang yang terdampar oleh banjir maka hukumnya masuk dalam hukum luqathah (barang temuan) baik hilang dari pemiliknya atau sengaja ditinggal oleh pemiliknya karena tidak bisa dibawa seperti mobil atau hewan.

Dan kesimpulan hukum luqathah adalah jika barang tersebut murah harganya sehingga biasanya tidak dicari oleh pemiliknya seperti pena murahan atau uang sedikit maka boleh dimiliki langsung oleh orang yang menemukannya dan tidak perlu mengumumkannya kecuali bila dia tahu siapa pemiliknya maka hendaknya diserahkan kepadanya.

Adapun barang-barang yang berharga yang biasanya dicari oleh pemiliknya maka wajib bagi yang menemukannya untuk menjaga dan mengumumkannya selama setahun di tempat-tempat umum serta media. Jika setelah setahun tidak ada yang datang mengakuinya maka boleh dia miliki dengan catatan bila pemiliknya suatu saat datang maka dia harus mengembalikan kepadanya.

Namun, alangkah baiknya pemerintah yang menangani kasus bencana seperti ini mengadakan kantor dan gudang khusus untuk barang-barang hilang akibat bencana guna memudahkan pencariannya.

  • Asuransi Akibat Bencana

Bagi seorang yang telah ikut asuransi konvensional yang hukum sejatinya haram lalu dia mendapatkan ganti rugi dari asuransi akibat bencana yang dialami, maka boleh baginya untuk mengambil uang yang dahulu ia setorkan ke asuransi saja, adapun uang selebihnya maka hendaknya dia sedekahkan kepada fakir miskin.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Bila ditakdirkan terjadi kecelakaan maka ambillah secukupnya uang yang kita bayarkan pada perusahaan asuransi, adapun selebihnya maka jangan mengambilnya karena kita tidak berhak mendapatkannya dan kita yakin bahwa akad tersebut haram dan batil. Dan bila perusahaan tetap memaksa untuk mengambilnya, maka ambil dan sedekahkan dengan niat melepaskan diri dari perkara haram. Demikianlah solusinya.”[8]

  • Orang Yang Hilang

Apabila ada orang yang hilang sehingga tidak diketahui kabarnya apakah masih hidup ataukah sudah meninggal dunia, maka hendaknya dia ditunggu sampai batas waktu yang ditentukan oleh hakim, kemudian jika batas waktunya telah habis maka dia dihukumi telah meninggal dunia lalu setelah itu baru mulai hukum-hukum yang berkaitan dengan wafat seperti ’iddah dan pembagian warisan.[9]

  • Makan Harta Bantuan Bencana

Termasuk kedustaan yang besar adalah mengambil bantuan bencana padahal dia tidak termasuk kena bencana. Sungguh ini adalah penipuan dan kedustaan yang haram karena makan harta dengan cara yang batil, apalagi perlu kita ingat bahwa ini adalah uang umum.

Dan hendaknya juga bertaqwa kepada Allah orang-orang yang diberi amanat untuk menyalurkan bantuan kepada korban bencana baik oleh pemerintah atau masyarakat umum, jangan sampai dia korupsi atau tidak menyalurkan sebagai mestinya. Sesungguhnya Allah berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَـٰنَـٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًۭا ﴿٥٨﴾

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS an-Nisa‘ [4]: 58)

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Ada beberapa orang yang menyalurkan harta Allah bukan pada jalurnya, bagi mereka neraka besok pada hari Kiamat.” (HR Bukhari: 3118)

  • Shalat Ghaib

Sebagian orang tatkala mendengar adanya korban dalam bencana, mereka melakukan shalat Ghaib. Apakah disyari’atkan melakukan shalat Ghaib untuk para korban bencana? Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama dalam beberapa pendapat:

  1. Shalat Ghaib tidak disyari’atkan secara mutlak, karena shalat Ghaib yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah khusus untuk beliau. Ini madzhab Abu Hanifah, Malik, dan sebuah riwayat dari Ahmad.
  2. Shalat Ghaib disyari’atkan secara mutlak, dengan dalil shalatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada Najasyi. Ini madzhab Syafi’i dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
  3. Tidak disyari’atkan kecuali pada orang yang memiliki jasa besar.
  4. Tidak disyari’atkan kecuali apabila mayit diketahui belum ada yang menshalatinya. Pendapat inilah yang paling kuat, karena banyak para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang meninggal dunia pada zaman beliau tetapi tidak dinukil bahwa beliau menshalati mereka.[10]
  • Qunut Nazilah

Apakah disyari’atkan bagi kaum muslimin untuk melakukan qunut nazilah karena bencana? Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala mengutarakan masalah ini dan menjawabnya. Kata beliau, “Apabila kaum tertimpa suatu bencana yang tidak ada kaitannya dengan anak Adam seperti wabah, tsunami, gempa bumi, apakah seseorang hendaknya melakukan qunut atau tidak? Jawabannya: Tidak qunut, sebab bencana seperti ini sering menimpa pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun beliau tidak melakukan qunut. Dan setiap hal yang faktor penyebabnya sudah ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetapi beliau tidak melakukannya, padahal tidak ada yang menghalanginya, maka itu tidak disyari’atkan. Ini adalah kaidah berharga[11] yang hendaknya seseorang menggigitnya dengan gigi geraham karena sangat berfaedah.”[12]

  • Jangan Menambah Bencana Di Atas Bencana

Sebagian orang bertindak konyol, ingin menolak bala dari mereka, tetapi alih-alih bala tersebut berkurang, justru semakin parah dan bertambah. Sebabnya tidak lain adalah banyak sekali amalan tolak bala yang bertentangan dengan agama, seperti acara kirim tumbal dan sajen, karena adat kirim tumbal dan sajen bukanlah dari ajaran Islam. Justru Islam telah membatalkan hal ini. Demikian juga acara do’a bersama tolak bala karena hal itu tidak ada syari’atnya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Pada asalnya, do’a untuk menghilangkan wabah tidaklah terlarang. Namun, berkumpul untuk berdo’a bersama seperti pada shalat Istisqa‘ maka ini termasuk bid’ah (perkara baru) dalam agama … Seandainya hal itu disyari’atkan, tentu tidaklah samar bagi salaf dan bagi para ulama sepanjang zaman, sedangkan tidak dinukil dari mereka hadits atau atsar satu pun.”[13]

Al-Hafizh as-Suyuthi Rahimahullahu Ta’ala juga menguatkan tidak bolehnya. Kata beliau, “Hal itu tidak ada dalilnya yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Lanjutnya lagi, “Bencana seperti itu terjadi pada masa Imam Huda Umar bin Khaththab Radhiallahu ‘Anhu, sedangkan para sahabat saat itu masih banyak, namun tidak dinukil dari seorang pun dari mereka yang melakukan ritual (do’a bersama) tersebut.”[14]

Demikianlah penjelasan ringkas tentang hukum-hukum seputar banjir. Semoga bermanfaat bagi semuanya. Ya Allah, jagalah kami dan perbaikilah negeri kami, berikanlah kepada kami kebahagiaan dunia dan akhirat. Amin.

Oleh : Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Sumber : abiubaidah.com
Artikel elmuntaqa.wordpress.com

Catatan :

[1] Atsar Dzunubi wal Ma’ashi hlm. 9

[2] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya‘ 2/271

[3] Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim 1/12

[4] Bahasan ini banyak mengambil faedah dari makalah berjudul “Mukhtashor fil Ahkam Syar’iyyah lil Kawarits al-Bi’iyyah”.

[5] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 5/337, Ibnu Abi Dunya dalam al-’Uqubat (no. 23) dengan sanad jayyid (bagus).

[6] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 3/207 dengan sanad shahih.

[7] Al-Qawaninul Fiqhiyyah hlm. 362

[8] Syarh Mumti’ 10/327 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, cet. Dar Ibnil Jauzi

[9] Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Syarh Mumti’ 13/373–374. Adapun pendapat yang masyhur dari Khulafaur Rasyidin adalah menunggu selama empat tahun lamanya.

[10] Muqaddimah Syaikh Abdullah as-Sa’ad terhadap risalah al-Qaul Shaib fi Hukmi Shalatil Ghaib karya Sami Abu Hafsh. Lihat pembahasan bagus tentang shalat Ghaib dalam Ahkamul Jana‘iz karya Syaikh al-Albani hlm. 115–120.

[11] Lihat kaidah ini dalam Iqtidha‘ Shirathil Mustaqim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 2/594.

[12] Fathu Dzil Jalali wal Ikram Syarh Bulughul Maram 3/295. Lihat pula Jami’ul Masa‘il fi Ahkami Qunut Nawazil karya Sa’ad bin Shalih az-Zaid hlm. 56.

[13] Badzlul Ma’un: 328–330 secara ringkas

[14] Ma Rawahu Wa’un fi Akhbari Tha’un hlm. 167. Dan lihat masalah ini secara luas dan detail dalam risalah Hukmu Tada‘ili Fi’li Tha’ath fi Nawazil wa Syada‘id al-Mulimmat karya Syaikhuna Masyhur bin Hasan alu Salman.

Leave a comment